Dia
memulai tapi tak bisa mengakhiri. Bahkan mengemis pada Tuhan untuk mengakhiri
semua yang ia perbuat pun tidak membuahkan hasil. Terkadang ia ingin
mengakhirinya sesuai dengan arti kata akhir secara harfiah. Tapi, ada beberapa
hal yang masih mengganjal dalam hatinya sehingga ia mengurungkan niat.
Hujan
di bulan Desember semakin menjadi-jadi. Menjilat tubuh bumi dengan air ditambah
lagi petir yang menggelegar. Dingin menggelitik tubuh. Dia mempererat pelukan
pada lututnya. Giginya bergemeletuk.
Diambilnya
satu batang rokok di dalam laci. Ia nyalakan rokok itu. Dihisapnya dalam-dalam,
berusaha mengusir dingin. Mata sembap itu menatap jendela. Kosong. Pikirannya
melayang ke beberapa tahun yang lalu.
“Oh
my god, Daren. Apa yang kamu lakukan dengan barang itu? “ suara Reana
mengagetkan Daren.
“
Just taste it, Re. Ini membuat kamu merasa lebih kuat menghadapi perceraian
orang tua kita. “
Reana
mengambil suntikan yang sudah menempel di lengan Daren, adiknya. “Apa-apaan
kamu. Jangan mengambil tindakan berdosa, bodoh! Ayah kita duta anti narkoba
tapi kamu malah mengkhianatinya. Kamu malah memakan ayahmu sendiri. Daren, open
your eyes, please! “
Tangan
Daren menepis tangan Reana. “Ayah mengkhianati kita. Kita pantas mengkhianatinya.
Biar dia hancur sama seperti kita. Is it a sweet revenge, right?”
Air
muka Reana mendadak dingin. Hatinya mulai terasa seperti batu. Ia tidak
menjawab pertanyaan retoris adiknya. Dan Reana membiarkan adiknya menggali
kuburannya.
*****
Malam
sangat sendu membuat dirinya semakin kacau. Rambut panjang hitam legamnya
sangat kusut bagaikan benang yang digulung asal-asalan. Bungkus-bungkus rokok
berserakan di pojok ruangan. Ia tidak kuat lagi. Tidak tahan lagi untuk
mengambil sesuatu dilacinya.
Tangannya
bergetar menggapai laci. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengambil barang itu.
Barang yang membuatnya pelan tapi pasti masuk ke dalam sakaratul maut. Dia
sendiri akhirnya terjerumus sama seperti adiknya.
Sengatan
seperti semut terasa masuk ke dalam lengannya. Rasa bahagia, lega, dan tenang
mengalir masuk beriringan dengan cairan tersebut. Tapi, masih ada sedikit akal
dalam dirinya. Dia melepas suntikan itu dari lengannya. Darah merah
kehitam-hitaman keluar dari lengannya.
Dia
berteriak memekik. Membuat malam menjadi sekelumit kenistaan. Dia memulai tapi
tak bisa mengakhiri. Dia berdoa tapi Tuhan tak membantunya. Dia mengemis pada
Tuhan tapi sepertinya Tuhan memberinya karma. Mungkin Tuhan menganggapnya anak
durhaka.
“Ayah,
hentikan semua ini. Ayah, kalau ada orang yang bisa aku panggil Setan, itulah
ayah. Atau malah ayah lebih parah dari itu. Ayah adalah pemimpin setan. Ayah
adalah lucifer. Ayah adalah lucifer dalam kehidupanku dan Daren. Lucifer dalam
masa depan kami! “
Plaaak.
Tamparan hangat mendarat mulus.
“
Anak tak tau diri. Bisa-bisanya mengatai ayah dengan sebutan sekeji itu. Anak
durhaka. Kamu akan mendapatkan karma karena perkataanmu itu. “
“Tuhan
bantu Reana. Kalau ini sebuah karma tolong hapus. Kalau itu sebuah kutukan
berikan aku sebuah penawarnya. “
Reana
bagaikan berbicara dengan angin. Air mata meluncur di pipi porselan Reana.
Bibir kering pucatnya bergetar. Keringat dingin yang mengucur dari tubuh Reana
kian menggambarkan bahwa dirinya makin kesakitan. Reana yang malang. Reana yang
cantik tapi akan mati konyol karena narkoba.
*****
Reana
memasuki kamar Daren. Dia merasa frustasi dengan ayahnya. Dia tidak kuat lagi
atas perlakuan ayahnya kepada ibunya yang semakin semena-mena. Dia juga mulai
kesal dengan ibunya karena ibunya sok kuat. Perlihatkan saja kalau dia lemah.
Itu tidak akan membuat Reana semakin hancur.
Selain
rasa frustasi yang merasuki Reana. Ada rasa lain yang ia rasakan. Rasa rindu
terhadap kebahagian. Rasa rindu terhadap ketenangan dan tentu saja rasa rindu
tentang kenyamanan.
Mata
Reana mencari. Tangannya menggeledah. Ternyata benda itu ada dilemari Daren.
Reana mulai memasukan cairan itu kedalam suntikan. Sengatan seperti semut masuk
kedalam tubuhnya lalu digantikan dengan rasa nikmat dan menyenangkan. Dia
berbaring dikasur Daren dan merasakan sensasi bahagia.
*****
Jika
aku mati, aku ingin bahagia. Jika aku mati, aku ingin masuk surga. Jika aku
mati, aku ingin ayah dan ibu bersatu. Jika aku mati, aku ingin menemukan cinta
sejatiku. Jika aku mati, aku ingin semua orang bahagia. Jika aku mati, aku
ingin mati terhormat tidak karena narkoba. Jika aku mati, aku ingin segala
sesuatunya kembali seperti dulu. Bahagia. Aman. Nyaman.
Tapi,
aku tahu itu tidak mungkin. Aku tahu segala sesuatunya sudah berakhir saat aku
menyentuh benda itu. Aku sudah memulainya tapi aku tak bisa mengakhirinya. Aku
tahu aku tidak akan bahagia. Aku tahu aku tidak akan masuk surga. Aku tahu aku
tidak akan mati terhormat. Aku tahu semua yang kuinginkan hanyalah angan.
Aku
tidak sekuat yang kubayangkan. Aku rapuh. Aku hancur. Aku kepingan kertas yang
telah dibakar. Tuhan, apa masih ada sedikit takdir baik untukku? Apa masih ada
jalan untuk bahagia?
Saat
itu aku butuh sebuah pelampiasan. Aku butuh rasa bahagia. Aku butuh rasa aman.
Tuhan, maukah Kau memberiku kesempatan kedua? Tuhan, maafkan aku. Aku butuh
hidupku. Aku ingin hidupku kembali.
Tuhan,
jika kau tidak memberikanku kesempatan kedua, berikan aku kepingan kecil surga.
Kepingan yang membuatku yakin kalau aku masuk surga. Kalau aku lebih baik mati
ketimbang hidup. Tuhan, Berikan aku kepingan itu.
Tuhan,
aku takut jika kau tidak memberikan kepingan itu. Aku takut jika aku disiksa.
Aku takut jika kematianku lebih mengenaskan ketimbang kehidupanku.
*****
Jakarta, 14-Febuari-2013
Anak dari mantan
duta anti narkoba, Reana Renata ditemukan tewas dikamarnya pada kamis dini hari
tadi. Dia ditemukan sangat mengenaskan. Disebut-sebut Reana meninggal karena
narkoba.
Baru
dua bulan yang lalu anak kedua dari Sastono Kusworo ditemukan meninggal di
panti rehabilitasi karena HIV yang diidapnya.
Pada
saat ini pemeriksaan masih berlanjut dikediaman Sastono Kusworo. Ditemukaannya
beberapa jenis narkoba di kamar Reana yang memperkuat bukti bahwa penyebab
kematian Reana dikarenakan overdosis.
*****