“ Itu bintang! Ya,
itu bintang berwarna merah!” teriakku menjelaskan kepadamu.
Kau hanya tertawa
mendengar teriakan gila ku. “ Bintang merah! Ide bagus.”
Ini yang aku suka darimu. Ini. Kau
selalu menganggapku waras dengan imaji-imaji aneh ku. Kau selalu menganggap
diri ku normal disaat yang lain menganggapku aneh.
“ Apa yang ada dalam
bintang merah itu? Apa selai strawberry yang melapisnya? Apa rasanya manis?”
lagi-lagi, aku mulai berceloteh aneh.
Kau tampak berpikir.
Mata teduhmu berubah menjadi jenaka. “ Bukan strawberry yang melapisinya, tapi
kain-kain satin berwarna merah. Di dalamnya terdapat lampu-lampu bertenaga
tinggi sehingga cahaya sampai disini.”
Ah, ini dia. Aku
suka pikiran ini. Pikiran sama gilanya!
“ Apa bintang itu
memiliki teman? Oh, jangan-jangan di jagat raya ini dia sendiri.” Pikiran ku
mulai meracau.
Kau tertawa. Tawa
yang sangat renyah. “ Tidak, Tuhan tidak sejahat itu membiarkannya sendiri. Dia
pasti memiliki. Paling tidak, satu satelit. Hmm.. mungkin satelit putih. Yah,
satelit putih.”
Aku mengerutkan
dahi. “ Mengapa harus putih?”
“ Aku tidak tahu.
Aku rasa putih cocok dengan merah. Seperti warna bendera kita.”
Aku mencerna
perkataanmu. Ya, merah dan putih. Perpaduan warna yang menarik. “ Ibaratkan bintang
merah dan satelit putih-nya itu!” pekik ku, spontan.
“ hmm..” Jeda “
Baiklah, tapi, aku tak akan mengibaratkannya aku akan menceritakan bagaimana
bintang merah dan satelit putih itu bersatu.”
Aku mulai menyimak
cerita darinya..
“ Kau tahu bukan
bagaimana alam semesta ini tercipta? Paling tidak kau tahu teori Big Bang? Yah,
sebelum terjadi ledakan itu sebenarnya alam semesta sudah tercipta. Awalnya,
Bintang merah tidak pernah tahu siapa satelit putih. Begitu pun satelit putih.
Yang bintang merah tahu dia sendiri dan tak ada yang menginginkannya.”
“ Bintang merah
adalah bintang yang sulit dimengerti. Tidak ada satu pun satelit yang ingin
mengorbit pada bintang merah. Perputaran Bintang merah tidak pernah sesuai
dengan prediksi. Tidak sesuai orbit yang sudah ditentukan. Bintang merah,
bintang yang liar. “
“ hmm, oh ya,
sebelumnya, satelit putih adalah satelit sempurna. Semua bintang ingin diitari
dengan satelit putih. Kalau diibaratkan, satelit putih adalah pelayan yang tahu
bagaimana cara melayani majikannya.” Kau menarik nafas sejenak. Aku
menerka-nerka apa yang kau akan ceritakan selanjutnya.
“ Kau tahu bagaimana
Bintang merah dan Satelit putih bisa bertemu?” tanya mu padaku.
“ Mungkin lewat
pengocokan satelit yang diadakan Tuhan.” Celetukku tanpa berpikir.
Tiba-tiba kau
mengacungkan dua jempol kepada ku. “ Ya, seperti itu! Sebenarnya dulu tidak ada
aturan seperti itu. Tapi, karena Bintang merah berdoa dan mengadu pada Tuhan,
akhirnya di adakan undian satelit.”
“ Lalu diadakanlah
undian satelit. Bintang-bintang yang lain berharap satelit mereka adalah
satelit putih. Sedangkan, Bintang merah hanya berharap dia memiliki satelit.
Memiliki teman. Saat tiba giliran Bintang merah, ia berdoa pada Tuhan, Tuhan,
berikanlah aku satelit yang mengerti bagaimana aku sebenarnya. “
“ Bintang merah
mengambil undiannya yang ternyata jatuh pada Satelit putih. Bintang-bintang
yang lain tampak iri. Dan, mengolok-ngolok bintang merah. Berusaha agar Satelit
putih menolak undian itu. Tapi, satelit putih adalah pelayan yang terhormat.
Bagaimanapun dia harus menerima ini. “
“ Hampir 100 juta
tahun, Satelit putih mengelilingi bintang merah. Terbukti apa yang
bintang-bintang lain katakan tidaklah benar. Bintang merah hidup dengan
mengikuti kata hatinya. Bukan mencari sensasi agar di beri predikat liar atau
bengal. Dan, bagi Satelit putih, bersama Bintang merah adalah takdir yang
indah.”
“ Tapi, setiap
pertemuan pasti ada perpisahan bukan? Mereka berpisah karena big bang. Salah
satu bintang terbesar di bimasakti mengalami supernova. Karena itu semuanya
menjadi kacau. Bintang-bintang tertarik oleh supermasive black hole.
Satelit-satelit berubah menjadi partike debu. Bimasakti menjadi hampa”
“ Beberapa miliar
tahun selanjutnya mulai lah terbentuk lagi alam semesta. Partikel-partikel debu,
gas mulai menyatu. Satelit putih kembali. Tapi, tidak untuk Bintang merah.
Satelit putih tidak menemukannya. “
Kau terdiam. Seperti
kehabisan kata-kata untuk menceritakannya.
“ Boleh aku
melanjutkannya?” tanyaku. Berusaha membantu. Kau mengangguk. Memperbolehkannya.
“ Lalu, supermasive
black hole kehilangan kekuatannya dalam menarik semua benda. Lambat laun
lubangnya mulai mengecil. Bintang merah sudah pasrah jika ia harus hilang dan
dilupakan. Tapi, tiba-tiba ia teringat dengan Satelit putih. Jika ia hilang ,
dengan siapa Satelit putih akan mengorbit. Undian itu memang sementara. Satelit
putih bisa mencari bintang lain. Tapi, ego bintang merah terlalu besar.
Baginya, undian itu adalah abadi. Ya, abadi!”
“ Ia mencari celah
agar bisa keluar dari supermasive black hole yang sudah kehilangan kekuatannya
itu. Lubang yang terbuka tinggal 10 km lagi lebihnya dari diameter Bintang
merah. Ia menarik nafas untuk mengumpulkan kekuatan. Satu, dua, tiga, ia
meloncat, membal, seperti bola basket.”
“ Woooohoooo... dia
berhasil. Dan, saat dia melihat ke belakang, supermasive black hole telah
memudar. Ia kira, ia sendiri saat menyaksikan memudarnya supermasive black
hole. Tapi, tidak! Satelit putih berada disitu. Tersenyum, terharu ketika
melihat Bintang merah kembali.”
Tiba-tiba kau
memelukku. “ Kau tahu kenapa mereka bisa kembali bersama?”
Aku tersenyum. “
Karena Tuhan menakdirkannya.”
Pelukanmu semakin
erat. “ Kau tahu kenapa aku memilih putih untuk bersama merah?”
Aku tertawa. “
Karena putih bisa meredakan merah yang membara. Karena putih yang bisa
mencintai merah apa adanya. Karena putih bisa melindungi merah yang liar.”
“ Karena tanpa ada
merah, putih hanyalah warna hampa.” Tambahmu.
Untuk seseorang yang selalu ada dan
peduli