Hipokrit.
Munafik. Ya, itu kita. Saling menipu satu sama lain. Saling menghindar satu
sama lain. Tapi, percayalah, kali ini, aku ingin menjadi manusia yang jujur.
Aku ingin mengakui semuanya. Sayang, waktu, kesempatan, bahkan dirimu tidak membiarkan
diriku untuk melakukan itu. Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam. Bersabar. Entah sampai
kapan.
Aku benci
ke-egoisanmu. Aku benar-benar membencimu. Ketika diriku sudah ingin berjuang,
tapi sialnya kamu menghilang. Lagi. Sekian kalinya. Lalu, kelak kau akan muncul
seenaknya.
Oh bisakah
kau enyah saja. Tapi, sayangnya, cerita kita sudah terukir. Tak semudah itu
melupakanmu, apalagi mengingat setiap obrolan kita. Tentang harapan, kebebasan,
bahkan kematian. Setiap katamu bermakna.
Coba,
ajarkan aku untuk membuang dirimu seperti dirimu membuangku.
Coba,
ajarkan aku untuk berlaku seenaknya.
Oh, sial,
persetan. Aku menjadi orang yang hidup dalam penyesalan. Ya, banyak penyesalan,
seperti, kenapa harus bertemu dirimu? Kenapa harus membiarkan dirimu masuk
dalam hidupku? Namun, yang paling ku sesali adalah, kenapa baru sekarang aku
sadar dan mau mencari tahu tentang dirimu. Ya, itulah penyesalanku.
Seharusnya aku
melakukan hal itu dari dulu.
Dan, biarkan
aku mengatakan Maaf. Karena aku terlambat. Maaf, karena lancang mencari tahu
semua tentangmu dan, sekarang aku tahu semuanya.
Ah,
entahlah.
Kalau
pertanyaanmu tentang harapan masih berlaku, maka aku akan menjawab
“Memiliki
kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Hubungan antara dirimu dan diriku.”