Sabtu, 05 April 2014

Bintang Merah, Satelit Putih

“ Itu bintang! Ya, itu bintang berwarna merah!” teriakku menjelaskan kepadamu.
Kau hanya tertawa mendengar teriakan gila ku. “ Bintang merah! Ide bagus.”
Ini yang aku suka darimu. Ini. Kau selalu menganggapku waras dengan imaji-imaji aneh ku. Kau selalu menganggap diri ku normal disaat yang lain menganggapku aneh.
“ Apa yang ada dalam bintang merah itu? Apa selai strawberry yang melapisnya? Apa rasanya manis?” lagi-lagi, aku mulai berceloteh aneh.
Kau tampak berpikir. Mata teduhmu berubah menjadi jenaka. “ Bukan strawberry yang melapisinya, tapi kain-kain satin berwarna merah. Di dalamnya terdapat lampu-lampu bertenaga tinggi sehingga cahaya sampai disini.”
Ah, ini dia. Aku suka pikiran ini. Pikiran sama gilanya!
“ Apa bintang itu memiliki teman? Oh, jangan-jangan di jagat raya ini dia sendiri.” Pikiran ku mulai meracau.
Kau tertawa. Tawa yang sangat renyah. “ Tidak, Tuhan tidak sejahat itu membiarkannya sendiri. Dia pasti memiliki. Paling tidak, satu satelit. Hmm.. mungkin satelit putih. Yah, satelit putih.”
Aku mengerutkan dahi. “ Mengapa harus putih?”
“ Aku tidak tahu. Aku rasa putih cocok dengan merah. Seperti warna bendera kita.”
Aku mencerna perkataanmu. Ya, merah dan putih. Perpaduan warna yang menarik. “ Ibaratkan bintang merah dan satelit putih-nya itu!” pekik ku, spontan.
“ hmm..” Jeda “ Baiklah, tapi, aku tak akan mengibaratkannya aku akan menceritakan bagaimana bintang merah dan satelit putih itu bersatu.”
Aku mulai menyimak cerita darinya..
“ Kau tahu bukan bagaimana alam semesta ini tercipta? Paling tidak kau tahu teori Big Bang? Yah, sebelum terjadi ledakan itu sebenarnya alam semesta sudah tercipta. Awalnya, Bintang merah tidak pernah tahu siapa satelit putih. Begitu pun satelit putih. Yang bintang merah tahu dia sendiri dan tak ada yang menginginkannya.”
“ Bintang merah adalah bintang yang sulit dimengerti. Tidak ada satu pun satelit yang ingin mengorbit pada bintang merah. Perputaran Bintang merah tidak pernah sesuai dengan prediksi. Tidak sesuai orbit yang sudah ditentukan. Bintang merah, bintang yang liar. “
“ hmm, oh ya, sebelumnya, satelit putih adalah satelit sempurna. Semua bintang ingin diitari dengan satelit putih. Kalau diibaratkan, satelit putih adalah pelayan yang tahu bagaimana cara melayani majikannya.” Kau menarik nafas sejenak. Aku menerka-nerka apa yang kau akan ceritakan selanjutnya.
“ Kau tahu bagaimana Bintang merah dan Satelit putih bisa bertemu?” tanya mu padaku.
“ Mungkin lewat pengocokan satelit yang diadakan Tuhan.” Celetukku tanpa berpikir.
Tiba-tiba kau mengacungkan dua jempol kepada ku. “ Ya, seperti itu! Sebenarnya dulu tidak ada aturan seperti itu. Tapi, karena Bintang merah berdoa dan mengadu pada Tuhan, akhirnya di adakan undian satelit.”
“ Lalu diadakanlah undian satelit. Bintang-bintang yang lain berharap satelit mereka adalah satelit putih. Sedangkan, Bintang merah hanya berharap dia memiliki satelit. Memiliki teman. Saat tiba giliran Bintang merah, ia berdoa pada Tuhan, Tuhan, berikanlah aku satelit yang mengerti bagaimana aku sebenarnya. “
“ Bintang merah mengambil undiannya yang ternyata jatuh pada Satelit putih. Bintang-bintang yang lain tampak iri. Dan, mengolok-ngolok bintang merah. Berusaha agar Satelit putih menolak undian itu. Tapi, satelit putih adalah pelayan yang terhormat. Bagaimanapun dia harus menerima ini. “
“ Hampir 100 juta tahun, Satelit putih mengelilingi bintang merah. Terbukti apa yang bintang-bintang lain katakan tidaklah benar. Bintang merah hidup dengan mengikuti kata hatinya. Bukan mencari sensasi agar di beri predikat liar atau bengal. Dan, bagi Satelit putih, bersama Bintang merah adalah takdir yang indah.”
“ Tapi, setiap pertemuan pasti ada perpisahan bukan? Mereka berpisah karena big bang. Salah satu bintang terbesar di bimasakti mengalami supernova. Karena itu semuanya menjadi kacau. Bintang-bintang tertarik oleh supermasive black hole. Satelit-satelit berubah menjadi partike debu. Bimasakti menjadi hampa”
“ Beberapa miliar tahun selanjutnya mulai lah terbentuk lagi alam semesta. Partikel-partikel debu, gas mulai menyatu. Satelit putih kembali. Tapi, tidak untuk Bintang merah. Satelit putih tidak menemukannya. “
Kau terdiam. Seperti kehabisan kata-kata untuk menceritakannya.
“ Boleh aku melanjutkannya?” tanyaku. Berusaha membantu. Kau mengangguk. Memperbolehkannya.
“ Lalu, supermasive black hole kehilangan kekuatannya dalam menarik semua benda. Lambat laun lubangnya mulai mengecil. Bintang merah sudah pasrah jika ia harus hilang dan dilupakan. Tapi, tiba-tiba ia teringat dengan Satelit putih. Jika ia hilang , dengan siapa Satelit putih akan mengorbit. Undian itu memang sementara. Satelit putih bisa mencari bintang lain. Tapi, ego bintang merah terlalu besar. Baginya, undian itu adalah abadi. Ya, abadi!”
“ Ia mencari celah agar bisa keluar dari supermasive black hole yang sudah kehilangan kekuatannya itu. Lubang yang terbuka tinggal 10 km lagi lebihnya dari diameter Bintang merah. Ia menarik nafas untuk mengumpulkan kekuatan. Satu, dua, tiga, ia meloncat, membal, seperti bola basket.”
“ Woooohoooo... dia berhasil. Dan, saat dia melihat ke belakang, supermasive black hole telah memudar. Ia kira, ia sendiri saat menyaksikan memudarnya supermasive black hole. Tapi, tidak! Satelit putih berada disitu. Tersenyum, terharu ketika melihat Bintang merah kembali.”
Tiba-tiba kau memelukku. “ Kau tahu kenapa mereka bisa kembali bersama?”
Aku tersenyum. “ Karena Tuhan menakdirkannya.”
Pelukanmu semakin erat. “ Kau tahu kenapa aku memilih putih untuk bersama merah?”
Aku tertawa. “ Karena putih bisa meredakan merah yang membara. Karena putih yang bisa mencintai merah apa adanya. Karena putih bisa melindungi merah yang liar.”
“ Karena tanpa ada merah, putih hanyalah warna hampa.” Tambahmu.

Untuk seseorang yang selalu ada dan peduli


Tidak ada komentar:

Posting Komentar