Kamis, 25 April 2013

Diantara Harapan



Harapan menaruh perhatian pada kebaikan, dan bukan berulang-ulang mencari keburukan. Harapan selalu membuka pintu di mana putus asa senantiasa menutupinya. Harapan mencari apa yang bisa dikerjakan dan bukan menggerutu karena ketidaktahuan. Harapan memancarkan kepercayaan terhadap Tuhan dan kebaikan alam.
Harapan ‘menyalakan terang’, bukannya ‘mengutuki kegelapan’. Harapan melihat masalah besar atau kecil sebagai kesempatan. Harapan tidak menghargai khayalan, juga tidak mengungkapkan kesinisan. Harapan selalu membentangkan tujuan besar dan tidak frustasi dengan kegagalan atau kemunduran. Harapan selalu mendorong ke depan ketika mundur begitu mudah dilakukan.*
*****
Kaki kapalannya tidak kuasa menahan panas. Tapi, hari ini dia harus terus berjalan agar barang dagangnya laku. Tidak peduli kulit ari kakinya semakin parah. Ia harus mendapatkan uang. Demi ibunya yang sakit dan demi adik-adiknya yang menunggu sambil menahan lapar.
Tubuh kurusnya terus berjalan menyusuri perkampungan. Ia terus berteriak-teriak menyebut nama makanan yang dijajakan. Tidak ada seorang pun yang tertarik dengan nama makanan tersebut. Tak satu pun dari mereka yang berniat untuk membeli.
Tapi, ia terus berjalan agar barang dagangnya dapat terjual habis. Ia harus mendapatkan uang. Demi ibunya yang sakit dan demi adik-adiknya yang menunggu sambil menahan lapar. Oh Tuhan, kaki kecil anak itu semakin tidak kuasa menahan panas. Tidak ada alas kaki. Tidak ada sandal yang melindungi kaki kecilnya itu.
Dia terus berjalan. Tak boleh putus asa. Kalau dia putus asa dan menyerah, Ibu dan adik-adiknya tidak akan makan lagi. Ibu dan adik-adiknya akan mati kelaparan. Dia tidak mau itu terjadi. Membayangkannya saja sudah mengerikan.
Perut kerempengnya berbunyi. Dia lapar. Tidak akan ada tenaga jika dia makan. Manggis kecil yang ada di kantong keresek diambilnya. Ini yang tersisa selain dagangannya. Ia makan manggis itu. Legit rasanya. Semoga glukosa yang terkandung dalam manggis itu membuat tenaganya terisi kembali.
Suara khasnya mulai berteriak-teriak lagi. Ia susuri seluk demi seluk perkampungan itu. Tuhan, hamba mohon dimurahkan rejeki kali ini. Doa kecil ia panjatkan kepada Tuhan. Apakah Tuhan mendengarkannya? Bahkan si anak kecil itu tidak peduli. Yang ia pedulikan adalah Ibu dan adik-adiknya. Ia memanjatkan doa itu hanya untuk menambah semangat.
Tiba-tiba seorang pembeli memanggil-manggil namanya. Bibir yang mengkerucut tiba-tiba mengembang membentuk senyuman manis. Dibalik ketidak peduliannya terhadap doa kecil yang ia panjatkan, Tuhan mendengarkan.
*****
Seseorang berlari menghampirnya. Anaknya yang paling tua. Tangannya menyerahkan dua lembar uang lima ribuan. Senyum bahagia terhias dari anaknya. Direngkuhnya tubuh renta milik ibunya.
Oh Tuhan, dia anak yang sangat berbakti. Jangan sengsarakan hidupnya. Jangan buat dia menjadi seseorang yang susah sepertiku. Dan berikanlah dia tempat yang terbaik disisimu jika suatu saat dia telah tiada.
Doa dipanjatkan. Dia berdoa setulus hati. Meminta kepada Tuhan agar hidup anak sulungnya bahagia. Dia tidak ingin anaknya memiliki garis nasib sepertinya. Dia tidak ingin anaknya menderita berkepanjangan.
 Dia berharap anaknya memiliki hidup baik. Tidak diremehkan orang lain dimasa depan. Tapi adakah masa depan untuk keluarga-keluarga sepertinya? Adakah secercah sinar didalam gua yang tak pernah terjamah matahari? Dia tidak tahu. Yang ia tahu hanya berharap dan menjalani hidup.
*****
Seorang atlit bulu tangkis terus berlatih, mempertajam permainannya. Ia tidak peduli kalau hari sudah larut. Yang ia pedulikan hanya peningkatkan permainan. Seorang pelatih yang duduk di pinggir lapangan terus menilainya. Kritikan- kritikan pedas terus diluncurkan pelatih itu. Tapi ia tidak peduli. Yang ia pedulikan adalah kata ‘peningkatan’.
Lawannya dipertandingan besok sangat tangguh. Dia adalah atlit muda yang berbakat. Lawannya itu bisa saja mengambil posisi yang sudah lama ia pertahankan. Tapi dia tidak akan memberikannya. Dia akan terus mempertahankannya.
Dalam masa kejayaan mungkin atlit akan dipuji-puji tapi dalam masa tua mungkin atlit akan dibuang seperti sampah. Tapi lagi-lagi ia tak mau ambil pusing. Dia terus mempertahankannya walaupun dia tahu kemungkinan nasibnya akan seperti itu. Dia hanya ingin mempertahankan posisinya. Tidak peduli masa depan. Yang dia hadapi adalah masa kini bukan masa depan.
Jadi, dia terus berjalan mengikuti alur. Berjuang melawan arus. Terus menepis musuh dengan pedangnya dan melindungi diri dengan perisainya. Karena hidup ini adalah berjuang untuk mempertahankan posisi.
Sang pelatih masih saja menilainya pedas. Dia tidak tahu kalau sebenarnya pelatihnya itu berdecak kagum. Pelatih melihat sebuah kerja keras yang dimiliki sang atlit. Sebuah kerja keras layaknya singa kelaparan. Yang terus berlari walau ia tahu tenaganya sudah habis. Singa yang terus mengejar rusa.
Harapan terpanjat dalam hatinya. Semoga atlit bimbinganku akan menang. Semoga dia bisa mempertahankan posisinya. Semoga segala kerja keras yang ia kerjakan tidak sia-sia. Semoga singa yang ada pada dirinya akan terus ada sampai pertandingan besok.
Bunyi sepatu berdecit terus berdentuman. Seiring berjalannya waktu bunyi peluit terdengar. Waktu latihan selesai. Atlit mengambil handuk dan mengelap setiap keringat yang bercucuran. Siap pulang dan beristirahat untuk pertandingan besok.
Sang atlit tidak tahu kalau lapangan menjadi basah olehnya. Yang ia tahu hanya bekerja keras dan berjuang.
*****
Hari yang paling mendebarkan dimulai. Ia mengikat tali sepatu dengan kencang seperti seorang pelari yang akan berlari menembus angin. Tangannya mengambil raket dan memegangnya dengan kuat. Seakan raket adalah barang yang akan menolongnya dari segala kenistaan. Dia berdoa. Menambah keyakinannya.
Tuhan, Aku tidak akan meminta apa-apa selain kemenangan.
Riuh rendah penonton mulai terdengar. Dalam hatinya sang atlit berjanji tidak akan mengecewakan pelatihnya, Tidak akan mengecewakan semua orang yang mendukungnya. Dia akan terus berjuang dan berharap.
Karena ia tahu setiap detik yang diisi dengan kerja keras dan doa tidak pernah tersia-siakan.
*****

*dikutip dari James Keller, The christopher

Tidak ada komentar:

Posting Komentar